Resensi oleh: Yudhistira A.N.M. Massardi
(TEMPO, No. 26, Tahun XIV, 9 Juni 1984)
Judul buku: SASTRA YANG MEMBEBASKAN
Pengarang: Emha Ainun Nadjib
Penerbit: PLP2M, Yogyakarta, 1984, 134 halaman
Penulis menolak sastra “bisu” dan kritik yang cuma mementingkan teknik esetetika belaka. Dan ia berkutat habis=habisan di sana.
Ini ada serentetan esei yang tegang dari seorang yang seolah-olah sedang berjuang. Emha Ainun Nadjib, 31, penulisan sepuluh kumpulan karangan ini, seperti senantiasa berada pada posisi yang tak memberinya pilihan lain. Ia merasa sendirian, sumpek, dan ngambek.
Karena itu, buku Sastra yang Membebaskan ini riuh oleh kegusaran. Kegusaran bertahun-tahun hanya karena dua hal saja. Yakni, Emha ingin agar sastra (puisi) masa kini meninggalkan apa yang disebutnya ke-”bisu”annya dan berama-ramai menggarap masalah sosial di sekitanrnya. Dengan kata lain, ia harus memekik lebih nyaring. Lebih kongkret. Kedua, para kritisi dituntut agar tak menilai karya sastra dari segi teknis estetis belaka. Mereka, “Mestinya mampu menangkap kesenian dalam kanvas kehidupan, bukan hanya dalam kanvas kesenian,” tulisnya (halaman 18).
Seluruh esei yang dalam buku ini – yang masing-masing pernah dipublikasikan di berbagai tempat – berkutat di sekitar tema tadi. Karena itu, membaca salah satu saja di antaranya sudahlah cukup. Selebihnya adalah pengulangan-pengulangan dengan gaya akrobatik (dan bahasa yang sering tak jelas), untuk meyakin-yakinkan publiknya bahwa soal yang dibicarakan adalah amat gawat.
Esei-esei ini ditulis antara 1979 dan 1983. Dari satu segi, ia menunjukkan kegigihan dan kesetiaan penulisnya terhadap sikap dan pikirannya – yang mengambil oper gagasan “pamflet penyair Rendra” hampir sepuluh tahun lalu.
Lepas dari perkara ketimpangan, ketidakadilan sosial, dan sejenisnya, yang ada di sekitar dan membangkitkan amarah siapasaja – pokok inilah yang menjadi gugatan Emha yang sebenarnya – bukankah dunia penciptaan (sastra) sebaiknya dibiarkan lepas bebas saja? Emha ternyata tak bisa sepenuhnya menolak sastra “bisu”. Lebih dari itu, ia sendiri, sebagai penyair, toh sudah membuktikan bahwa ia bisa dan leluasa saja menciptakan sastra yang “memekik”, sebagaimana dikehendaki dan sering pula dipertontonkannya.
Jadi, keadaan (sastra kita) sebenarnya tak segawat seperti yang selama ini dibayangkannya. Ia menjadi terasa genting karena Emha – sebagaimana tampak pada karangan-karangannya = terus-menerus menghadirkan atau menciptakan “musuh” di dalam pikirannya. “Musuh” itu boleh jadi sastra “bisu”, para kritikus yang angkuh atau juga ketakutan dan ketidakpercayaan kepada diri sendiri.
Seandainya “musuh-musuh” itu dianggap tak ada atau tak usah digubris saja, maka, bukankah sastra (dan Emha) akan terbebas dengan sendirinya? Sebab, dengan terus-menerus membayangkan diri menggempur “musuh-musuh” dan menuntut mereka untuk takluk dan menempuh jalan sastra selera yang lain lagi, berarti konflik yang tak perlu akan terus berlangsung.
Kalem sajalah.
Yudhistira A.N.M. Massardi
Sumber: TEMPO, No 26, Tahun XIV, 9 Juni 1984
Post a Comment