Iran dan Perjuangan Palestina

Hasanudin Abdurakhman Setelah Revolusi Islam tahun 1979, Republik Islam Iran menjadikan dukungan terhadap perjuangan Palestina sebagai bagian fundamental dari orientasi ideologis dan politik luar neg…
Iran dan Perjuangan Palestina

Iran dan Perjuangan Palestina

Iran dan Perjuangan Palestina

Hasanudin Abdurakhman

Setelah Revolusi Islam tahun 1979, Republik Islam Iran menjadikan dukungan terhadap perjuangan Palestina sebagai bagian fundamental dari orientasi ideologis dan politik luar negerinya. Perubahan ini bukan sekadar retorika. Pemerintah baru Iran di bawah kepemimpinan Ayatollah Khomeini segera menutup kedutaan besar Israel di Teheran dan menyerahkannya kepada Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), sebuah langkah simbolis yang mengisyaratkan pemutusan total dengan rezim Zionis dan komitmen terhadap pembebasan Palestina.

Sejak saat itu, Iran menempatkan isu Palestina sebagai isu sentral dalam wacana revolusioner dan diplomasi internasionalnya. Ayatollah Khomeini secara konsisten menggambarkan Israel sebagai “setan kecil” yang beroperasi di bawah bayang-bayang “setan besar” — Amerika Serikat. Perjuangan rakyat Palestina ditafsirkan sebagai perlawanan umat Islam melawan penindasan global, dan Iran memosisikan dirinya sebagai pemimpin moral dan strategis dari perlawanan itu.

Hubungan Awal dengan PLO dan Fatah

Pada masa awal pascarevolusi, Iran menjalin hubungan dekat dengan PLO yang kala itu dipimpin oleh Yasser Arafat. Iran bahkan memberikan tempat khusus kepada PLO di Teheran, menjadikan Iran sebagai negara pertama yang secara simbolis dan diplomatis menggantikan Israel dengan Palestina.

Namun, hubungan ini segera memburuk ketika PLO — bersama mayoritas dunia Arab — menyatakan dukungannya kepada Irak dalam Perang Iran-Irak (1980–1988). Dukungan Arafat kepada Saddam Hussein dianggap sebagai pengkhianatan terhadap Iran yang baru saja membuka pintu lebar bagi perjuangan Palestina. Sejak itu, Teheran mengalihkan dukungannya kepada faksi-faksi Islamis yang lebih kecil namun lebih sejalan secara ideologis.

Peralihan Dukungan ke Faksi Islamis: Jihad Islam dan Hamas

Iran kemudian membangun hubungan yang erat dengan Jihad Islam Palestina (PIJ), kelompok Islamis Sunni yang didirikan awal 1980-an dan secara terbuka menyatakan kekaguman terhadap Revolusi Islam Iran. PIJ tidak hanya menerima bantuan dana dan pelatihan militer dari Iran, tetapi juga menjadikan Teheran sebagai inspirasi ideologis. Hingga kini, PIJ tetap menjadi faksi Palestina paling dekat dengan Iran.

Pada akhir 1980-an, Iran juga mulai menjalin hubungan dengan Hamas, cabang dari Ikhwanul Muslimin yang beroperasi di Palestina dan menjadi pesaing utama Fatah di wilayah pendudukan. Meski berbeda mazhab (Sunni-Syiah), hubungan antara Hamas dan Iran didasarkan pada kepentingan strategis bersama: melawan Israel. Iran menyediakan dana, pelatihan, dan teknologi rudal bagi Hamas, terutama setelah kelompok itu mengambil alih kendali Gaza pada 2007.

Hubungan dengan Hamas sempat tegang akibat posisi Hamas yang menentang rezim Bashar al-Assad dalam Perang Suriah. Namun, pragmatisme geopolitik mempertemukan keduanya kembali, terutama karena Hamas menyadari pentingnya dukungan Iran di tengah isolasi internasional dan regional yang dihadapi Gaza.

Iran dan Faksi-Faksi Lain

Sementara Iran menjalin hubungan erat dengan PIJ dan Hamas, hubungannya dengan faksi-faksi sekuler seperti Fatah dan otoritas Palestina tetap dingin. Iran menilai Fatah terlalu akomodatif terhadap Israel dan lebih menekankan diplomasi daripada perlawanan bersenjata. Teheran bahkan menyebut Otoritas Palestina sebagai “administrator pendudukan” dan menolak proses damai seperti Oslo, yang dianggap sebagai penyesatan terhadap cita-cita pembebasan Palestina.

Iran juga dikenal mendukung kelompok-kelompok kecil lain yang bersedia mengadopsi pendekatan militan dan garis ideologis revolusioner. Bantuan Iran tidak hanya bersifat militer tetapi juga mencakup logistik, media, dan diplomasi alternatif, terutama melalui jaringan media seperti Al-Alam dan Press TV yang digunakan untuk membangun narasi alternatif terhadap Israel dan sekutunya.

Solidaritas Palestina vs Ambisi Geopolitik: Di Mana Garis Pemisahnya?

Meskipun Iran kerap menampilkan dirinya sebagai pendukung tulus bagi Palestina, tak dapat diabaikan bahwa dukungan ini juga memiliki dimensi strategis dan geopolitik yang sangat kuat. Solidaritas terhadap Palestina berjalan bersamaan — dan sering kali bertumpang tindih — dengan ambisi Iran untuk memperluas pengaruh regional serta menyebarkan nilai-nilai Revolusi Islam di Timur Tengah.

Iran menggunakan isu Palestina sebagai alat legitimasi moral atas keterlibatannya dalam berbagai konflik regional. Dengan menampilkan diri sebagai pembela utama Al-Quds dan lawan utama Israel, Iran mampu memperkuat posisinya di mata publik Muslim, terutama di kalangan rakyat Arab yang kecewa terhadap penguasa mereka yang dinilai semakin berkompromi dengan Israel.

Namun, proyek ini tidak terbatas pada Palestina saja. Iran juga membentuk dan mendukung jaringan milisi bersenjata di berbagai negara:

- Hizbullah di Lebanon, yang menjadi kekuatan militer non-negara paling kuat di kawasan.

- Milisi Syiah di Irak, seperti Asa'ib Ahl al-Haq dan Kataib Hezbollah, yang memainkan peran penting dalam politik dan keamanan Irak pasca-invasi AS.

- Houthi di Yaman, yang setelah mendapat dukungan Iran, mampu menguasai ibu kota Sanaa dan menjadi musuh utama koalisi pimpinan Arab Saudi.

- Pasukan dan penasihat di Suriah, yang menopang rezim Bashar al-Assad dari kejatuhan.

Seluruh jaringan ini disebut sebagai bagian dari “Poros Perlawanan” (Axis of Resistance) yang berpusat di Teheran, dengan tujuan melawan dominasi AS dan Israel di kawasan.

Ketegangan dengan Dunia Arab

Proyeksi kekuatan Iran melalui jaringan proksi ini menimbulkan kekhawatiran besar di kalangan negara-negara Arab, terutama monarki Teluk seperti Arab Saudi, UEA, dan Bahrain. Mereka memandang Iran bukan hanya sebagai ancaman ideologis, tetapi juga sebagai kekuatan destabilisasi yang menggunakan isu Palestina untuk menyusup ke dalam konflik internal Arab.

Ketegangan ini berujung pada reorientasi diplomatik yang dramatis: beberapa negara Arab mulai menormalisasi hubungan dengan Israel melalui Abraham Accords. Salah satu motifnya adalah mengimbangi pengaruh Iran. Ironisnya, justru ketika negara-negara Arab menjauh dari Palestina, Iran tetap mempertahankan komitmennya terhadap perlawanan.

Namun, Iran pun menghadapi batasannya. Banyak kelompok Sunni tetap curiga terhadap agenda Iran, terutama karena latar belakang Syiah dan persepsi sektarian. Meski hubungan dengan Hamas dan PIJ terjalin, tidak semua faksi menerima otoritas ideologis Iran. Bahkan, beberapa kelompok hanya menerima bantuan teknis, tanpa komitmen penuh terhadap doktrin revolusioner Iran.

Penutup: Palestina sebagai Simbol dan Alat Politik

Lebih dari empat dekade setelah Revolusi Islam, Iran tetap menjadikan Palestina sebagai isu sentral dalam kebijakan luar negerinya. Namun, dukungan ini tidak bisa dilihat hanya sebagai ekspresi solidaritas moral. Ia adalah kombinasi antara idealisme revolusioner dan kalkulasi geopolitik. Bagi Iran, Palestina adalah simbol ketertindasan yang harus dibela — tetapi juga medan di mana pengaruh Iran diproyeksikan dan poros kekuasaan regional dibentuk.

Iran akan terus memainkan peran penting dalam isu Palestina, baik sebagai pendukung perlawanan, penantang hegemoni Israel, maupun sebagai pemain regional yang memanfaatkan solidaritas untuk membentuk ulang tatanan kekuasaan Timur Tengah. Dan selama ketidakadilan di Palestina belum terselesaikan, peran ganda Iran — sebagai pembela dan pengatur — akan terus menjadi bagian dari dinamika politik kawasan.

OlderNewest

Post a Comment