Wahabi Lingkungan atau Wahabi Ekonomi?
Kepada (Mas) Ulil Abshar Abdalla
Oleh Shiny.ane el'poesya, M.Ag (Alumni Paramadina)
Baru saja saya menyaksikan tayangan di Kompas TV dimana Ulil Abshar Abdalla menjadi salah satu narasumbernya, dan saya menyesal bukan karena durasi menontonnya, tetapi karena menyaksikan betapa dangkal dan menyimpang logika yang disampaikan seseorang yang dikenal luas sebagai cendekiawan Nahdliyin.
Dalam pembicaraan tersebut, Ulil menyebut para aktivis lingkungan yang bersikap keras terhadap industri tambang sebagai "Wahabi Lingkungan." Ini bukan saja kekeliruan logika, tapi juga bentuk delegitimasi moral terhadap perjuangan panjang menyelamatkan bumi dari kerakusan kapitalisme ekstraktif.
Wahabi, dalam sejarahnya, bukan sekadar puritanisme agama yang memurnikan tauhid. Ia juga gerakan penghancur: menghancurkan situs-situs yang dianggap sakral, membongkar tradisi yang hidup, dan memaksakan satu pandangan absolut atas keragaman tafsir. Dalam konteks ini, siapakah sesungguhnya yang lebih mirip "Wahabi"? Para aktivis lingkungan yang berusaha merawat bumi dengan ilmu, data, dan empati, atau para pembenar sistem ekonomi yang terus menghancurkan alam demi keuntungan segelintir elite tambang?
Kita perlu mengingat bahwa dalam sejarah Wahabisme, perusakan situs dan pengabaian terhadap nilai-nilai lokal merupakan ciri khas. Masjid, makam, dan tempat keramat di Hijaz yang telah berusia ratusan tahun diluluhlantakkan atas nama “kemurnian.” Demikian pula para pelaku ekonomi ekstraktif yang menyerbu pegunungan, laut, dan hutan kita: membongkar isi perut bumi, merusak ekosistem, dan meninggalkan kehancuran struktural demi nama “kemajuan.”
Ketika Ulil bertanya, “kenapa harus dikembalikan seperti semula?” usai Iqbal bertanya tentang tambang dan ekosistem, kita justru menyaksikan kehancuran bukan hanya pada alam, tetapi juga pada kemampuan bernalar dan membatin. Tidak, Mas Ulil, pertanyaan itu tidak menyelamatkan siapa-siapa, kecuali justru memperlihatkan seberapa jauh logika Anda telah terkooptasi oleh kuasa ekonomi yang merusak nalar kritis dan etika ekologis.
Labelisasi “Wahabi Lingkungan” bukan saja gagal secara intelektual, tetapi berbahaya secara sosial-politik. Ia berusaha membungkam kritik, mencurigai empati, dan menutup kanal informasi publik soal kehancuran yang nyata. Padahal dalam tradisi NU sendiri, para ulama sepuh seperti KH Ali Yafie dalam Fiqh Lingkungan Hidup telah menegaskan bahwa kerusakan lingkungan akibat tambang adalah kezaliman struktural yang nyata, yang tidak bisa dimaafkan hanya dengan dalih "kemajuan."
Jika Ulil memposisikan dirinya sebagai pewaris rasionalitas Islam moderat, maka sangat disayangkan bila argumen yang ia bangun tidak berdasarkan ilmu, data, dan keberpihakan pada yang lemah. Ia lebih menyerupai “Wahabi Ekonomi” yang tak segan membenarkan penghancuran alam demi menyembah berhala kemajuan palsu yang dijanjikan kapitalisme ekstraktif.
Lihatlah Raja Ampat, Wawonii, Halmahera, Kalimantan, dan Papua. Dari sana, lahir bukan kesejahteraan, tapi penderitaan. Tidak ada bukti bahwa tambang membawa keadilan ekologis dan ekonomi. Yang ada hanya relasi kuasa antara negara dan korporasi, yang menempatkan rakyat sebagai penghalang, bukan sebagai pemilik sah tanah airnya.
Greenpeace, Walhi, Eknas WALHI, LBH, dan banyak komunitas adat yang berjuang mempertahankan ruang hidup mereka, bukan Wahabi. Mereka adalah benteng terakhir dari peradaban ekologis. Bahkan, keluarga Gus Dur pun turut aktif dalam perjuangan ini. Jika Greenpeace disebut Wahabi lingkungan, maka itu sama saja menyebut Gus Dur dan anak-anaknya sebagai radikalis. Ini bukan hanya keliru, tapi ofensif secara moral dan historis.
Pertanyaannya: mengapa Ulil tergelincir sejauh ini? Apakah ini soal kesadaran atau kepentingan? Sulit untuk tidak mengaitkan perubahan posisi ini dengan fakta bahwa NU kini memiliki konsesi tambang. Di titik ini, integritas intelektual diuji: apakah seorang cendekia tetap memihak pada suara nurani atau tunduk pada suara mesin bor?
Masalahnya bukan sekadar retorika. Bumi ini memanas. Ribuan hektar hutan habis. Ratusan sungai tercemar. Puluhan spesies punah. Rakyat kehilangan ruang hidup. Dan semua ini bukan fiksi. Ini adalah realitas yang telah diverifikasi oleh ratusan studi akademik dan data lapangan.
Apakah ini layak dibandingkan dengan Wahabi yang keras kepala? Kalau pun ada yang Wahabi, maka itu adalah Wahabi Ekonomi: mereka yang bersikukuh bahwa pertumbuhan harus terus berlanjut meskipun bumi sudah megap-megap, bahwa kerusakan lingkungan hanyalah harga kecil yang harus dibayar demi ‘kemajuan.’
Kita tidak menolak pertambangan dalam arti absolut. Tapi kita menolak cara produksi yang destruktif dan tidak adil. Kita menolak model pembangunan yang menjadikan tanah air sebagai ruang eksploitasi, bukan tempat kehidupan. Kita menolak ekonomi yang mengorbankan rakyat dan makhluk hidup demi surplus laba para pemilik modal.
Kalau Ulil mengira bahwa menolak tambang adalah bentuk fundamentalisme, maka ia telah gagal memahami etika ekologis. Ini bukan soal “melawan kemajuan,” tapi soal menyelamatkan masa depan. Jangan samakan suara tangis bumi dengan jeritan ideologi puritan. Mereka lahir dari lumbung yang berbeda.
Ironisnya, mereka yang berbicara keras tentang lingkungan sering dilabeli ekstremis, padahal mereka hanya menyuarakan yang tak bisa lagi dibungkam oleh statistik dan tayangan iklan korporat. Sebaliknya, para pendukung tambang justru sering bicara dengan gaya elegan, logis, dan seolah modern, padahal menyembunyikan mesin penghancur di balik bahasa ekonomi.
Mari kita tanyakan lagi: di mana bukti bahwa tambang membawa kesejahteraan? Mana bukti bahwa ekosistem bisa dikembalikan? Mana jejak hijau yang benar-benar tersisa? Tidak ada. Yang ada adalah lubang-lubang besar, anak-anak yang menderita ispa, dan tanah adat yang menjadi ladang konflik.
Para aktivis lingkungan bukan Wahabi. Mereka adalah penafsir zaman. Mereka membaca gejala-gejala kerusakan dan menawarkan jalan etik dan alternatif. Mereka bergerak dari bawah, dari tanah yang diinjak, dari air yang diminum, dari udara yang dihirup. Mereka tidak punya saham, tidak punya konsesi, tapi punya nurani.
Dan siapa yang justru keras kepala? Siapa yang menolak melihat kerusakan? Siapa yang mempertahankan tafsir lama tentang kemajuan dan pembangunan yang jelas-jelas gagal? Di sinilah logika “Wahabi Ekonomi” bekerja: menolak kritik, membungkam suara, dan menormalisasi kekerasan ekologis sebagai keniscayaan.
Dalam banyak hal, para pejuang lingkungan lebih dekat kepada nilai-nilai Islam ketimbang para pembenaran tambang. Mereka mempraktikkan amar ma’ruf nahi munkar, mereka menjaga amanah khalifah fil ardh, dan mereka menolak fasad (kerusakan) yang terang-terangan dilarang dalam Qur'an.
Ulil seharusnya meninjau ulang posisinya. Membaca lebih dalam tentang ekoteologi Islam, tentang maqashid syari’ah, dan tentang tanggung jawab moral kepada generasi mendatang. Menuduh aktivis lingkungan sebagai Wahabi justru menunjukkan kekaburan posisi dan ketidakteguhan berpihak pada bumi.
Maka pertanyaannya: siapa sebenarnya Wahabi hari ini? Mereka yang menjaga gunung, sungai, dan laut? Atau mereka yang mengkultuskan pertumbuhan ekonomi dan mendiamkan kehancuran yang nyata? Ketika bumi rusak, hutan habis, dan sungai tercemar, mereka berkata: jangan panik, ini bagian dari ijtihad ekonomi—lalu menuduh yang mengingatkan sebagai Wahabi. Rupanya, hari ini, menjaga bumi lebih berbahaya daripada menjaga konsensi. [Sic!]
14 Juni 2025
Post a Comment