 |
pexels.com |
Berapa lama kita mentelengi gawai, setiap harinya? Berapa lama? Kalau
ada orang bertanya seperti itu, saya akan jawab tidak tahu. Takut tossa bila
keliru menjawab.
Atau, memang tidak mungkin saya jawab. Saya takut tossa lagi: tossa
membohongi orang lain. Karena, seakurat apapun jawaban yang saya berikan, saya
masih yakin kalau jawaban itu tidak pasti benar. Itu kalau dihitung menggunakan
angka. Persisnya, angka dalam jam. Kalau dihitung dengan perbandingan, dengan
kegiatan lain misalnya, nah, ini baru mendekati akurasi. Hanya saja,
teranglah bahwa menjalani aksi di depan gawai menempati posisi terlama.
Dengan hanya menjawab ‘memegang’ dan ‘mentelengi’ sebenarnya belum
menjawab kehendak pertanyaan yang sebetulnya. Pertanyaan macam ‘berapa lama
Anda pegang gawai’ adalah semacam pertanyaan eufemisme. Pertanyaan aslinya bisa
berupa: ‘seberapa lama Anda menyia-nyiakan waktu?’ That’s it.
Saya agak tersinggung sebenarnya, dengan pertanyaan itu. Tapi, sekalipun
sudah saya utarakan bahwa saya tersinggung, pertanyaan-pertanyaan serupa atau
mirip masih sering saya dengar dari orang yang bahkan sama: orang yang sama
saya kasi jawaban. Misalnya, karena kesal tadi, saya jawab: kamu tahu tidak
bahwa di dalam gawai ada perpustakaan, terdapat jutaan koleksi buku, ada ratusan
ribu pekerjaan, dan ribuan orang pintar –di mana dari kesemuanya itu saya bisa
menyerap enersi positif? Dalam arti lain, saya bisa belajar atau
mendapat “kesibukan”.
Ada sekian ragam jenis orang dalam memandang gawai. Mesti tak lepas dari
plus-minus. Yang mau saya utarakan di bawah adalah yang bertipe semi minus.
Ada sejenis orang, yang karena punya pengalaman traumatik dengan gawai,
lalu mengebyah-uyah pengguna gawai. Padahal, dirinya sendiri pun, ya, pengguna
gawai yang ke sumsum tulang setianya. Saya tahu karena rumah kami bersebelahan.
Persisnya, ini terjadi kepada kawan saya sendiri. Jadi, kalau suatu waktu
istrinya mengomel agak dini, bisa saya pastikan, itu karena gawai. Ya, suaminya
tidur telat. Bangunnya, ya telat. Lalu, istrinya ceramah sepetang istrinya
bangun.
Orang traumatikan itu, selain suka menggebyah-uyah, juga gampang menuduh. Misal,
suatu saat saya menyendiri di pojok kamar. Di pojok yang memang agak remang. Saya
memang sering di situ. Kalau lagi di pojok, lalu kawan traumatik ini datang,
dia langsung nyambar tanpa rem.
“Eh, lagi 3gp-an, ya?”
Istri saya sudah paham. Saya tak mungkin nonton itu. Buat apa juga.
Berkhayal? Emangnya saya jomblo kelas akut? Maap, ya, itu dulu. Setahun
lalu maksudnya, sebelum saya ketemu istri.
(3gp adalah kode keras film-film indeh**, dulu, di tahun 2000-an
awal)
Beban kita, sebagai pelaku dan pengguna gawai yang baik dan benar, memang
agak berat. Di satu sisi, pandangan orang terhadap gawai masih kayak di atas.
Di sisi lain, pemegang gawai agaknya masih kurang terampil mengampanyekan ‘gawai
sehat’. Mirip dengan kampanye Hari Bumi atau penyelamatan dunia dari ancaman
penipisan ozon, pengguna aktif-produktif gawai perlu melakukan inovasi-inovasi.
 |
Dok. pribadi |
Yang pertama, pandangan orang terhadap gawai.
Sebelum saya menjawab, saya mau menyatakan bahwa ini sulit. Ini kata
kunci. Kenapa sulit? Pandangan itu terpola melalui suplai informasi terdekat
dan terpendek dengan jarak pandang. Anda berkampanye di Jakarta, tapi kenakalan
akibat ‘bencana’ merebaknya gawai itu terjadi umumnya melanda desa. Lalu,
kira-kira apa relevansi kampanye tersebut? Pengaruh, mungkin iya ada. Tapi, itu
sesaat. Pas nonton saja. Selepas itu? Yang disaksikan oleh orang tua desa
adalah anak-anak yang bandel. Sulit dimintai tolong. Sering bolos sekolah. Dan,
‘tuli’. Iya, tuli. Sebab, saban dipanggil, menyahutnya lama sekali. Persis
frekuensi radio AM di jaman dulu.
Yang kedua, perlu inovasi atau keterempilan tersendiri dalam menyampaikan
materi kampanye.
Pengasuh konten kreatif diperlukan di bagian ini. Iya, lagi-lagi kalau
yang dihadapi masyarakat urban. Orang udik? Orang udik adalah orang yang gemar
melihat contoh, bukan mendengar, apalagi merumorkan contoh.
Ambil contoh, misalnya, dengan memegang gawai, Anda jadi pintar. Anda pun
kudu bisa mempraktikkannya. Bisa baca kitab atau apal sekian baris dari
syair-syair Busyiri, misalnya. Ketika ada undangan hajatan, Anda musti tampil.
Hapalan itu harus ‘direalisasikan’ di depan khalayak.
Bisa juga, tapi ini agak ekstrem, yakni mencontohkan dengan pamer kekayaan.
Anda tunjukkan dengan membeli mobil atau membangun rumah baru. Baru, orang udik
percaya bahwa Anda memang betul-betul berdaya sebab gawai.
Kalau tidak, tidak ditendang keluar kampung saja Anda sudah untung.
Post a Comment