Yahudi-Amerika
M Kholid Syeirazi
Zainuddin MZ, dai kondang favorit saya ketika kecil, pernah mengatakan begini dalam salah satu ceramahnya: siapa Israel? Israel itu Amerika kecil. Siapa Amerika? Amerika itu Israel besar. Ini simplifikasi yang masuk akal. Kebijakan luar negara Amerika selalu menggendong Israel. Jaminan hidup dan kesejahteraan Israel adalah kepentingan geopolitik Amerika, siapa pun presidennya. Untuk misi itu, AS siap memainkan standar ganda.
Orang kuat dan berkuasa memang boleh suka-suka. Karena dunia diatur oleh orang kuat dan suka-suka, organisasi multilateral seperti PBB seumpama macan ompong. Kata Pak SBY, sekjen PBB itu bukan Sekretaris Jenderal, tetapi sekretarisnya jenderal. Dia hanya sekretaris. Jenderalnya ya orang-orang kuat yang pegang hak veto. Musyawarah urusan-urusan genting untuk menciptakan dunia yang ramah dan damai seringkali kandas begitu kena veto orang kuat. Untuk menyelesaikan konflik Timur Tengah, termasuk solusi yang adil bagi Palestina, AS siap menggunakan hak vetonya untuk menjamin hak hidup dan kesejahteraan Israel.
Begitu pun dalam urusan nuklir. Iran diawasi setengah mati. Badan Energi Atom Internasional (IAEA) memantau 24 jam aktivitas pengayaan uranium Iran. Iran ditekan habis-habisan untuk mematuhi protokol NPT (Non-Proliferation Treaty). Jika mbalelo, Iran dijatuhi sanksi-sanksi. Tetapi untuk Israel, ini perkara lain. AS dan IAEA tutup mata terhadap aktivitas pengayaan uranium Israel. Bukan hanya tutup mata, dia sokong diam-diam. Jadilah Israel sekarang punya 90 hulu ledak nuklir.
Buat apa senjata nuklir? Dia itu bisa jadi alat perang dan damai. Punya nuklir biar tidak perang. Biar damai perlu punya nuklir. 'Si vis pacem para bellum,' kata Vegetius Renatus. Kalau pun perang, jangan sampai pakai nuklir. Asumsinya, orang-orang kuat itu otaknya masih waras. Mereka tidak mau lumat oleh senjata yang mereka buat sendiri. Hanya mereka yang otaknya waras yang boleh mengembangkan senjata nuklir. Otak waras, dalam sistem politik, ya demokrasi. Demokrasi diatur oleh hukum dan konstitusi. Konstitusi ‘negara-negara waras’ mengatur secara ketat penggunaan senjata nuklir.
Trump hidup dalam otak waras demokrasi. Meskipun kata sebagian orang dia itu agak ‘sinting’, dia tidak bisa semena-mena pakai hulu ledak nuklir. Karena apa? Demokrasi. Sekarang bagaimana kalau senjata nuklir dikembangkan oleh negara non-demokrasi? Ini yang Paman Sam sewot. Korea Utara punya nuklir. Pakistan juga. China apalagi. China sudah kadung jadi raksasa. Pegang hak veto pula. Korea Utara dibiarkan terisolasi. Pakistan punya nuklir karena dendam kesumat dengan India. India punya nuklir untuk menakut-nakuti Pakistan. Klop. Mereka pasti perangnya tidak lama. Kayak kemarin. Mereka tidak mau lumat oleh senjata nuklir. Terus Israel bagaimana? Amerika mendukung Israel jadi polisi di Timur Tengah. Dia sokong Israel mengembangkan senjata nuklir. Polisinya cukup satu: Israel. AS pasti akan gencet negara lain yang coba-coba kembangkan senjata nuklir. Karena apa? Isreal harus jadi Amerika kecil di Timur Tengah.
Kok segitunya Amerika sama Israel? Anda bisa baca bukunya Isaac Dimont, Jews, God and History. Sebagai bangsa, mereka merasa hutang budi kepada orang-orang Yahudi. Ketika Revolusi Amerika, Jenderal Washington bergantung kepada para penyandang Yahudi yang sudah kaya. Mereka pelarian dari Spanyol, sukses jadi saudagar dan petani, kaya dari ekspor-impor antarbenua sejak akhir abad ke-16. Setelah gelombang imigrasi kedua, dari tahun 1820-1880 M, penetrasi Yahudi ke Amerika semakin menggurita. Mereka jadi pebisnis hebat dan filantropis terkemuka seperti Guggenheim, Warbug, Straus, Schiff, dan Rosenwald. Ketika Amerika mengalami Depresi Besar, mereka dirikan banyak lembaga penyantun, yang menjadi model bagi program New Deal Roosevelt. Yahudi juga berkontribusi terhadap abad pencerahan Eropa. Setelah eksodus besar-besaran Yahudi ke Amerika setelah PD I, jumlah ilmuwan Amerika peraih Nobel sains naik pesat. Generasi awal penerima nobel sains Yahudi-Amerika adalah Albert Abraham Michelson, Jacob Lipman, Herman J. Muller, Casimir Funk, dan Jonas Salk. Di dunai jurnalistik, Joseph Pulitzer mendirikan fakultas jurnalistik di Universitas Columbia. Namanya diabadikan dalam award jurnalistik yang bergengsi.
Intinya banyak sekali andil Yahudi di ekonomi, politik, sains, dan seni Amerika. Dimont menyebut Amerika seumpama Babylonia baru bagi Yahudi. Karena itu, jangan macam-macam terkait nasib Yahudi di dunia. Amerika pasti pasang badan untuknya. Pun untuk itu dia siap melanggar demokrasi, HAM, dan teori-teori tengik lain tentang liberalisme dan kesetaraan.
Post a Comment